Sabtu, 27 Juli 2013

PERANAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM GUGATAN PERLAWANAN



PENDAHULUAN
Sengketa antar manusia muncul karena perbedaan kepentingan masing-masing. Manusia  dapat melakukan hal yang sama, tetapi  tujuan dapat berbeda-beda. Sejak jaman dahulu manusia mempunyai tujuan untuk melakukan kerja sama sekaligus semangat persaingan di antara mereka. Dalam semangat persaingan inilah sebuah kelompok akan berhadapan dengan kelompok lainnya guna mengejar tujuan masing-masing.
Berbagai cara ditempuh orang guna menyelesaikan sengketa diantara mereka. Sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, beragam alternatif digunakan orang guna meredam ketegangan diantara mereka, baik alternatif tersebut menggunakan cara kekerasan atau tidak  
Untuk menyelesaikan sengketa orang melakukan dua pendekatan. Pendekatan pertama melalui lembaga pengadilan. Kelemahannya, memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Pendekatan yang kedua melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR memiliki kelebihan, yaitu membuka peluang bagi para pihak untuk mencapai sebuah kesepakatan yang didasarkan pada faktor-faktor selain uang. Disisi lain, proses lebih cepat, lebih murah dan tidak bernuansa permusuhan, dan para pihak dituntut untuk benar-benar dapat mengidentifikasi kebutuhan mereka sehingga sengketa dapat dituntaskan.
Antara pelaku usaha dan konsumen sering terjadi sengketa. Sengketa konsumen memiliki karakteristik yang khas atau bersifat khusus, maka dalam banyak hal tidak dapat diberlakukan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa pada umumnya. Prosedur penyelesaian sengketa sebagaimana pada umumnya diterapkan di lembaga Pengadilan (Formal) sudah pasti bukan merupakan model yang tepat untuk penyelesaian sengketa konsumen. Bahkan tata cara penyelesaian sengketa alternatif (non formal) yang diterapkan seperti di Mediation Center atau di BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) atau lembaga ADR (Alternatif Dispute resolution) lainnya juga tidak dapat serta merta diterapkan begitu saja pada Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Karakteristik khusus lainnya yang ditemui dalam sengketa konsumen antara lain berkaitan dengan ketimpangan daya tawar (bargaining potition) antara konsumen dan pelaku usaha. Dimana pada umumnya konsumen berada dalam posisi yang lebih lemah secara ekonomis, psikologis, dan pengetahuannya dibandingkan dengan pelaku usaha yang pada umumnya berbentuk Corporate dan sudah tertata dengan sistematis segala bentuknya. Diluar hal tersebut, titik pangkal dari sebuah sengketa umumnya berawal dari informasi yang tidak diterima secara benar dan tepat, sehingga pemahaman mengenai transaksi barang dan atau jasa menjadi berbeda. Hal ini tentu sangat sederhana dan lebih baik diselesaikan dengan musyawarah, tanpa harus berbelit-belit menerapkan aturan hukum dan sanksi.
Nilai tertinggi dari penyelesaian sengketa adalah sebuah kesepakatan yang sering kita kenal dengan win-win solution, dimana tidak ada pihak yang menang dan tidak ada yang kalah. Untuk mencapai sebuah solusi menang-menang, dibutuhkan ketrampilan dan pengetahuan yang cukup dari pemandu musyawarah (konsiliator atau mediator) serta pendalaman culture untuk mengikuti ritme para pihak yang bersengketa.
Indonesia memiliki Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang didirikan tingkat Kabupaten untuk menyelesaikan sengketa konsumen. Dalam Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan peradilan. Jadi sebagai bentuk perlindungan dari negara, konsumen diberi kebebasan sesuai dengan kemampuan untuk menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan seperti quasi peradilan yang bernama BPSK.
Dibentuknya BPSK sangat membantu konsumen terutama dalam hal prosedur beracara yang mudah, cepat, tanpa biaya karena segala biaya yang timbul sudah dibebankan kepada APBD masing-masing Kabupaten/Kota sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Prosedur penyelesaiannya pun tidak rumit harus menggunakan dalil-dalil hukum yang kaku. Konsumen  / pengadu dapat mengajukan gugatan tertulis maupun tidak tertulis tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.
Hal terpenting dari penyelesaian melalui BPSK adalah adalah adanya peluang memilih metode penyelesaian yang semi tertutup baik secara konsiliasi, mediasi, ataupun arbitrase. Hal ini penting untuk  penyelesaian sengketa konsumen yang mengandung muatan bisnis global. Dari sisi pelaku usaha tentu tidak perlu khawatir akan pencemaran brand image productnya yang dilaporkan oleh konsumen. Dari sisi Konsumen juga terbantu dengan memiliki daya tawar (bargaining potition) yang lebih tinggi dibandingkan saat harus melakukan negosiasi mengenaik kesepakatan penyelesaian. Kapabilitas majelis BPSK yang berlatar belakang keterwakilan unsur pemerintah, pelaku usaha dan konsumen pun sangat mempengaruhi keberhasilan penyelesaian sengketa. Keterpaduan 3 tiga unsur tersebut diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pelaku usaha dan konsumen yang bersengketa, karena mereka akan mengarahkan menurut sudut pandang masing-masing unsur.
Meskipun didalam aturan undang-undang Konsumen yang  diberikan hak untuk mengadu, bukan berarti hak pelaku usaha diabaikan dalam penyelesaian melalui BPSK. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 memberi jaminan perlindungan hak terhadap Konsumen dan Pelaku Usaha yang ditegakkan melalui BPSK sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa (ADR). Penyelesaian melalui BPSK terbukti efektif untuk menyelesaikan sengketa konsumen di wilayah kabupaten/kota dibandingkan penyelesaian permelalui lembaga peradilan konvensional.


IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apakah untuk proses penyelesaian sengeketa di BPSK diperlukan persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa?
2. Apabila pelaku usaha menolak/keberatan untuk menyelesaikan sengketa melalui BPSK dengan dasar bahwa telah ada kespekatan yang tertuang dalam Perjanjian (yang menjadi dasar hubungan hukum konsumen dengan pelaku usaha) mengenai forum penyelesaian sengketa; Dapatkah BPSK tetap melaksanakan proses penyelesaian sengketa dengan kondisi demikian?
3. Apakah BPSK memiliki wewenang untuk malakukan panggilan paksa terhadap pelaku usaha yang menolak untuk menyelesaikan sengketanya melalui BPSK?
4. Bagaimana kekuatan hukum suatu putusan arbtrase di BPSK yang dibuat tanpa kehadiran pelaku usaha?
PEMBAHASAN
1.   Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau ke badan peradilan. Kemudian, menurut pasal 52 UUPK, salah satu kewenangan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”) adalah menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.

Berkaitan hal di atas, pasal 45 UUPK memang menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Namun, ini tidak berarti dalam mengajukan gugatan harus telah disetujui dahulu oleh para pihak. Menurut penjelasan pasal 45, ini artinya dalam penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Jadi, pengajuan gugatannya tidak harus atas persetujuan para pihak, tetapi para pihak dapat bersepakat untuk memilih perdamaian untuk penyelesaian sengketanya.

Lain halnya dengan penyelesaian sengketa BPSK yang melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Menurut pasal 52 huruf (a) UUPK, BPSK berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Mengenai mediasi, arbitrase dan konsiliasi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNomor 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“Kepmen Perindag 350/2001”). Menurut pasal 4 ayat (1) Kepmen Perindag 350/Mpp/Kep/12/2001, penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. Jadi, yang perlu persetujuan para pihak adalah apabila penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dilakukan dengan cara mediasi/konsiliasi/arbitrase.

2.   Seperti telah diuraikan di atas, konsumen dapat menggugat pelaku usaha ke BPSK atau ke badan peradilan. Namun, dalam hal sengketa itu bukan kewenangan BPSK, Ketua BPSK dapat menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen (lihat pasal 17 Kepmen Perindag 350/2001).

Dalam hal telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen mengenai forum penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya para pihak tunduk pada klausula tersebut. Ini mengacu pada pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihaknya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, seharusnya penyelesaian sengketa dilakukan berdasar kesepakatan awal.

3.  Pasal 52 huruf g UUPK memang memberikan kewenangan pada BPSK untuk memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Akan tetapi, BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap pelaku usaha tersebut. Meski demikian, BPSK bisa meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen (lihat pasal 52 huruf i UUPK). Jadi, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa, tetapi BPSK bisa meminta bantuan pada penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha. Penyidik di sini mengacu pada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen (lihat pasal 59 ayat [1] UUPK)

4.  Dalam hal pelaku usaha tetap tidak memenuhi panggilan BPSK, maka BPSK dapat mengadili sengketa konsumen tanpa kehadiran pelaku usaha. Hal ini mengacu pada pasal 36 Kepmen Perindag 350/2001, yaitu dalam hal pelaku usaha tidak hadir pada hari persidangan I (pertama), majelis hakim BPSK akan memberikan kesempatan terakhir kepada pelaku usaha untuk hadir pada persidangan II (kedua) dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Jika pada persidangan II (kedua) pelaku usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha. Jadi, dalam hal pelaku usaha tidak menghadiri persidangan, maka BPSK dapat mengabulkan gugatan konsumen. Adapun putusan BPSK sendiri adalah putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (lihat pasal 54 UUPK jo pasal 42 ayat [1] Kepmen Perindag 350/2001). Final artinya dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi (lihat penjelasan pasal 54 ayat [3] UUPK). Putusan BPSK kemudian dapat dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan (lihat pasal 42 ayat [2] Kepmen Perindag 350/2001).


KESIMPULAN

1.  Proses penyelesaian sengeketa di BPSK tidak diperlukan persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa

2. BPSK tidak dapat melaksanakan proses penyelesaian sengketa apabila pelaku usaha menolak/keberatan untuk menyelesaikan sengketa melalui BPSK dengan dasar bahwa telah ada kespekatan yang tertuang dalam Perjanjian (yang menjadi dasar hubungan hukum konsumen dengan pelaku usaha) mengenai forum penyelesaian sengketa;

3. BPSK tidak memiliki wewenang untuk malakukan panggilan paksa terhadap pelaku usaha yang menolak untuk menyelesaikan sengketanya melalui BPSK. Namun dapat meminta penyidik untuk meminta pemanggilan.
4. Kekuatan hukum suatu putusan arbtrase di BPSK yang dibuat tanpa kehadiran pelaku usaha bersifat final.