PENDAHULUAN
Sengketa
antar manusia muncul karena perbedaan kepentingan masing-masing. Manusia dapat melakukan hal yang sama, tetapi tujuan dapat berbeda-beda.
Sejak jaman dahulu manusia
mempunyai tujuan untuk melakukan kerja sama sekaligus semangat persaingan
di antara mereka. Dalam semangat persaingan inilah sebuah kelompok akan
berhadapan dengan kelompok lainnya guna mengejar tujuan masing-masing.
Berbagai cara
ditempuh orang guna menyelesaikan sengketa diantara mereka. Sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat, beragam alternatif digunakan orang guna meredam
ketegangan diantara mereka, baik alternatif tersebut menggunakan cara kekerasan atau tidak
Untuk
menyelesaikan sengketa orang melakukan dua pendekatan. Pendekatan pertama
melalui lembaga pengadilan. Kelemahannya, memakan waktu yang lama dan biaya
yang tidak sedikit. Pendekatan yang kedua melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR memiliki
kelebihan, yaitu membuka peluang bagi para pihak
untuk mencapai sebuah kesepakatan yang didasarkan pada faktor-faktor selain
uang. Disisi lain, proses lebih cepat, lebih murah dan
tidak bernuansa permusuhan, dan para pihak
dituntut untuk benar-benar dapat mengidentifikasi kebutuhan mereka sehingga
sengketa dapat dituntaskan.
Antara
pelaku usaha dan konsumen sering terjadi sengketa. Sengketa konsumen memiliki
karakteristik yang khas atau bersifat khusus, maka dalam banyak hal tidak dapat
diberlakukan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa pada umumnya. Prosedur
penyelesaian sengketa sebagaimana pada umumnya diterapkan di lembaga Pengadilan
(Formal) sudah pasti bukan merupakan model yang tepat untuk penyelesaian
sengketa konsumen. Bahkan tata cara penyelesaian sengketa alternatif (non
formal) yang diterapkan seperti di Mediation Center atau di BANI (Badan
Arbitrase Nasional Indonesia) atau lembaga ADR (Alternatif Dispute
resolution) lainnya juga tidak dapat serta merta diterapkan begitu saja
pada Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Karakteristik
khusus lainnya yang ditemui dalam sengketa konsumen antara lain berkaitan
dengan ketimpangan daya tawar (bargaining potition) antara konsumen dan
pelaku usaha. Dimana pada umumnya konsumen berada dalam posisi yang lebih lemah
secara ekonomis, psikologis, dan pengetahuannya dibandingkan dengan pelaku
usaha yang pada umumnya berbentuk Corporate dan sudah tertata dengan
sistematis segala bentuknya. Diluar hal tersebut, titik pangkal dari sebuah
sengketa umumnya berawal dari informasi yang tidak diterima secara benar dan
tepat, sehingga pemahaman mengenai transaksi barang dan atau jasa menjadi
berbeda. Hal ini tentu sangat sederhana dan lebih baik diselesaikan dengan
musyawarah, tanpa harus berbelit-belit menerapkan aturan hukum dan sanksi.
Nilai
tertinggi dari penyelesaian sengketa adalah sebuah kesepakatan yang sering kita
kenal dengan win-win solution, dimana tidak ada pihak yang menang dan tidak ada
yang kalah. Untuk mencapai sebuah solusi menang-menang, dibutuhkan ketrampilan
dan pengetahuan yang cukup dari pemandu musyawarah (konsiliator atau mediator)
serta pendalaman culture untuk mengikuti ritme para pihak yang
bersengketa.
Indonesia
memiliki Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang didirikan tingkat
Kabupaten untuk menyelesaikan sengketa konsumen. Dalam Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada
pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen
atau ke badan peradilan. Jadi sebagai bentuk perlindungan dari negara, konsumen
diberi kebebasan sesuai dengan kemampuan untuk menyelesaikan sengketanya dengan
pelaku usaha melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan seperti quasi
peradilan yang bernama BPSK.
Dibentuknya
BPSK sangat membantu konsumen terutama dalam hal prosedur beracara yang mudah,
cepat, tanpa biaya karena segala biaya yang timbul sudah dibebankan kepada APBD
masing-masing Kabupaten/Kota sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Prosedur penyelesaiannya pun tidak rumit
harus menggunakan dalil-dalil hukum yang kaku. Konsumen / pengadu dapat
mengajukan gugatan tertulis maupun tidak tertulis tentang terjadinya pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak
perlu persetujuan kedua belah pihak untuk
memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.
Hal
terpenting dari penyelesaian melalui BPSK adalah adalah adanya peluang memilih
metode penyelesaian yang semi tertutup baik secara konsiliasi, mediasi, ataupun
arbitrase. Hal ini penting untuk penyelesaian sengketa konsumen yang
mengandung muatan bisnis global. Dari sisi pelaku usaha tentu tidak perlu
khawatir akan pencemaran brand image productnya yang dilaporkan oleh
konsumen. Dari sisi Konsumen juga terbantu dengan memiliki daya tawar (bargaining
potition) yang lebih tinggi dibandingkan saat harus melakukan negosiasi
mengenaik kesepakatan penyelesaian. Kapabilitas majelis BPSK yang berlatar
belakang keterwakilan unsur pemerintah, pelaku usaha dan konsumen pun sangat
mempengaruhi keberhasilan penyelesaian sengketa. Keterpaduan 3 tiga unsur
tersebut diharapkan dapat memberikan keadilan bagi pelaku usaha dan konsumen
yang bersengketa, karena mereka akan mengarahkan menurut sudut pandang
masing-masing unsur.
Meskipun
didalam aturan undang-undang Konsumen yang diberikan hak untuk mengadu,
bukan berarti hak pelaku usaha diabaikan dalam penyelesaian melalui BPSK.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 memberi jaminan perlindungan hak terhadap
Konsumen dan Pelaku Usaha yang ditegakkan melalui BPSK sebagai salah satu
lembaga alternatif penyelesaian sengketa (ADR). Penyelesaian melalui BPSK
terbukti efektif untuk menyelesaikan sengketa konsumen di wilayah
kabupaten/kota dibandingkan penyelesaian permelalui lembaga peradilan
konvensional.
IDENTIFIKASI
MASALAH
1. Apakah untuk proses penyelesaian sengeketa di
BPSK diperlukan persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum
penyelesaian sengketa?
2. Apabila pelaku usaha menolak/keberatan untuk
menyelesaikan sengketa melalui BPSK dengan dasar bahwa telah ada kespekatan
yang tertuang dalam Perjanjian (yang menjadi dasar hubungan hukum konsumen
dengan pelaku usaha) mengenai forum penyelesaian sengketa; Dapatkah BPSK tetap
melaksanakan proses penyelesaian sengketa dengan kondisi demikian?
3. Apakah BPSK memiliki wewenang untuk malakukan
panggilan paksa terhadap pelaku usaha yang menolak untuk menyelesaikan
sengketanya melalui BPSK?
4. Bagaimana kekuatan hukum suatu putusan arbtrase
di BPSK yang dibuat tanpa kehadiran pelaku usaha?
PEMBAHASAN
1. Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (“UUPK”) mengatur bahwa konsumen dapat
mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau ke badan peradilan. Kemudian, menurut pasal 52 UUPK, salah
satu kewenangan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”) adalah menerima
pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Jadi, penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak perlu persetujuan
kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.
Berkaitan hal di atas, pasal 45 UUPK memang
menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa. Namun, ini tidak berarti dalam mengajukan gugatan harus telah
disetujui dahulu oleh para pihak. Menurut penjelasan pasal 45, ini
artinya dalam penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan
penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap
diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang
bersengketa. Jadi, pengajuan gugatannya tidak harus atas persetujuan para
pihak, tetapi para pihak dapat bersepakat untuk memilih perdamaian untuk
penyelesaian sengketanya.
Lain halnya dengan penyelesaian sengketa BPSK yang melalui
cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase. Menurut pasal 52 huruf (a) UUPK,
BPSK berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen
melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Mengenai mediasi, arbitrase dan
konsiliasi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNomor 350/Mpp/Kep/12/2001 Tahun
2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (“Kepmen Perindag 350/2001”). Menurut pasal 4 ayat (1) Kepmen
Perindag 350/Mpp/Kep/12/2001, penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK
melalui cara konsiliasi atau mediasi atau arbitrase dilakukan atas dasar
pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan. Jadi, yang perlu
persetujuan para pihak adalah apabila penyelesaian sengketa konsumen di BPSK
dilakukan dengan cara mediasi/konsiliasi/arbitrase.
2. Seperti telah
diuraikan di atas, konsumen dapat menggugat pelaku usaha ke BPSK atau ke badan
peradilan. Namun, dalam hal sengketa itu bukan kewenangan BPSK, Ketua BPSK
dapat menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen (lihat pasal 17 Kepmen
Perindag 350/2001).
Dalam hal telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan
konsumen mengenai forum penyelesaian sengketa, maka sudah seharusnya para pihak
tunduk pada klausula tersebut. Ini mengacu pada pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), bahwa perjanjian yang dibuat secara
sah mengikat para pihaknya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, seharusnya
penyelesaian sengketa dilakukan berdasar kesepakatan awal.
3. Pasal 52 huruf g
UUPK memang memberikan kewenangan pada BPSK untuk memanggil pelaku usaha
yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen. Akan
tetapi, BPSK tidak diberikan kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa
terhadap pelaku usaha tersebut. Meski demikian, BPSK bisa meminta bantuan
penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha yang tidak bersedia memenuhi panggilan
badan penyelesaian sengketa konsumen (lihat pasal 52 huruf i UUPK).
Jadi, BPSK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa, tetapi
BPSK bisa meminta bantuan pada penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha.
Penyidik di sini mengacu pada Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen (lihat pasal 59
ayat [1] UUPK)
4. Dalam hal pelaku usaha
tetap tidak memenuhi panggilan BPSK, maka BPSK dapat mengadili sengketa
konsumen tanpa kehadiran pelaku usaha. Hal ini mengacu pada pasal 36
Kepmen Perindag 350/2001, yaitu dalam hal pelaku usaha tidak hadir pada
hari persidangan I (pertama), majelis hakim BPSK akan memberikan kesempatan
terakhir kepada pelaku usaha untuk hadir pada persidangan II (kedua) dengan
membawa alat bukti yang diperlukan. Jika pada persidangan II (kedua) pelaku
usaha tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa
kehadiran pelaku usaha. Jadi, dalam hal pelaku usaha tidak menghadiri
persidangan, maka BPSK dapat mengabulkan gugatan konsumen. Adapun putusan BPSK
sendiri adalah putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(lihat pasal 54 UUPK jo pasal 42 ayat [1] Kepmen Perindag 350/2001).
Final artinya dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya
banding dan kasasi (lihat penjelasan pasal 54 ayat [3] UUPK). Putusan
BPSK kemudian dapat dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan
Negeri di tempat konsumen yang dirugikan (lihat pasal 42 ayat [2] Kepmen
Perindag 350/2001).
KESIMPULAN
1.
Proses penyelesaian sengeketa di BPSK tidak
diperlukan persetujuan kedua belah pihak untuk memilih BPSK sebagai forum
penyelesaian sengketa
2.
BPSK tidak dapat melaksanakan proses penyelesaian sengketa apabila pelaku usaha
menolak/keberatan untuk menyelesaikan sengketa melalui BPSK dengan dasar bahwa
telah ada kespekatan yang tertuang dalam Perjanjian (yang menjadi dasar
hubungan hukum konsumen dengan pelaku usaha) mengenai forum penyelesaian
sengketa;
3.
BPSK tidak memiliki wewenang untuk malakukan panggilan paksa terhadap pelaku
usaha yang menolak untuk menyelesaikan sengketanya melalui BPSK. Namun dapat
meminta penyidik untuk meminta pemanggilan.
4.
Kekuatan hukum suatu putusan arbtrase di BPSK yang dibuat tanpa kehadiran
pelaku usaha bersifat final.